Berawal dari sebuah cerita pewayangan yang serius, komedi menjadi sebuah selingan dalam lakon pewayangan. Muncullah “goro-goro” menghasilkan tokoh Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang membuat cerita menjadi lebih cair dan menghibur.
Istilah tari komedi memang masih asing di telinga masyarakat. Tidak heran genre tarian ini sedikit peminatnya. Padahal pentas tari komedi ini sangat menghibur, santai, dan bisa dikatakan jauh dari suasana sakral. Namun, pertanyaannya apakah membuat koreografi tari komedi itu mudah? Misalnya, menarikan tarian yang tidak terpaku pada irama.
Taman Budaya Yogyakarta (TBY) menggelar Sarasehan Masyarakat Tari Yogyakarta (MasNarYo), Senin (20/2/2023). Diskusi ini membahas tari kreasi bergenre komedi bersama maestro tari Didik Nini Thowok, dosen ISI Yogyakarta Dra. Setyastuti, M.sn, dan koreografer muda tari komedi Agung Tri Yulianto.
Berkah Tari Komedi
Didik Hadiparayitno atau Didik Nini Thowok menggeluti tari komedi sejak 1970-an, saat mendapat dawuh menari Edan-edanan di Keraton Yogyakarta. Didik dan rekannya menjadi orang pertama dari luar keraton yang menarikan tarian sakral ini. Tari Edan-edanan menjadi bagian dari upacara perkawinan yang ditarikan oleh penari laki-laki dan perempuan. Tarian ini dipercaya untuk menolak bala dari roh-roh jahat.
Didik mengatakan tari komedi merupakan tari yang tidak wajar gerakannya, namun tidak boleh melanggar pakem-pakem tari tradisional. Tari komedi hasil kreasinya selalu mencampurkan unsur tradisi dan komedi, tujuannya untuk mengedukasi penonton agar paham pakem tari tradisi.
Untuk menunjang koreografinya, Didik menyiapkan kostum dan properti yang bisa mengundang gelak tawa penonton. Sambil bernostalgia, ia menceritakan koleksi propertinya. Ada bulu mata palsu nan panjang dan warna-warni, payung besar hingga kecil, gigi palsu, rambut palsu, topeng bali, topeng binatang, kacamata besar, sanggul, dan lainnya. Contoh tarian Didik yang menjadi legend adalah tari Dwimuka Jali (Jawa-Bali).
Dalam tarian Dwimuka Jali, Didik menari dengan kostum lengkap Legong Bali dicampur dengan gerakan pakem Jawa. Di tengah-tengah tariannya, ia mengganti kostumnya dan menggunakan macam-macam topeng yang sudah disiapkan. Didik menirukan nenek-nenek tua hingga menjadi karakter Mr. Bean.
“Dengan menggunakan banyak properti, kita bisa mengekspresikan hal-hal lucu. Kita juga harus membuat banyak gerakan yang tidak normal,” ujar Didik Nini Thowok, Senin (20/2).
Tahun 1994, Didik membawa tari komedi ini ke jalan. Ia ngamen di sepanjang Jalan Malioboro. Dari foto yang diperlihatkan, pengunjung Malioboro seperti sangat terhibur. Didik tampil dengan menggunakan sanggul khas, kacamata besar, dan bulu mata yang panjang. Ia juga menaruh toples untuk menampung saweran dari pengunjung.
Dari ngamen tari ini, Didik mampu memberi donasi untuk membantu korban bencana alam di Indonesia dan membantu teman-teman seniman yang membutuhkan bantuan.
Dari Keraton, Turun ke Jalan
Didik Nini Thowok menarikan koreografinya dengan bermacam-macam properti yang digunakan, berbeda dengan Setyastuti, koreografinya menggunakan properti sekaligus menjadi simbol dan makna.
“Komedi bagiku ketidaknyamanan bagimu, kesedihan bagiku kesenanganmu,” begitu kata Setyastuti.
Ia biasa dipanggil Mami Uti. Tari Nirbaya membuat namanya melambung di dunia tari. Tari Nirbaya sendiri terinspirasi dari Tari Edan-edanan kagungan Keraton Yogyakarta. Kata “Nir” yang artinya menolak dan “Baya” adalah bahaya. Tarian ini ditarikan oleh laki-laki dan perempuan.
Tahun 1989, Mami Uti mendapat mandat untuk menjadi penata tari dalam acara Festival Tari Nusantara, yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan di Jakarta. Dalam acara tersebut, Mami Uti mengangkat tema kebudayaan dan ritual di Yogyakarta. Berangkat dari sinilah, Tari Nirbaya diciptakan.
Semua unsur yang terdapat di Tari Nirbaya ini berkiblat pada Keraton Yogyakarta. Baik dari segi musik, kostum, dan karakter. Mami Uti sempat tidak mendapatkan izin dari Keraton Yogyakarta karena dianggap tidak sesuai dengan pakem dari keraton. Namun setelah melalui jalan yang panjang, keraton mengizinkan Mami Uti memproduksi tariannya.
Saat prosesi manten agung, Tarian Beksan Edan-edanan akan mengiringi penganten laki-laki keluar dari bangsal kesatria, menuju bangsal kencana. Penari akan membawa properti seperti kemoceng dan peralatan rumah tangga. Dalam beksan edan-edanan ini, penari tidak boleh melakukan gerakan yang berlebihan, karena tujuan mereka menjalankan tugas sebagai tolak bala dalam jalannya prosesi perkawinan.
Sedangkan Tari Nirbaya, mempunyai tujuan untuk menolak bala dari sebelum acara pernikahan, hingga menuju bahtera rumah tangga. Gerakan pertama dalam tarian ini adalah membersikan pelaminan, dengan tujuan membersihkan mara bahaya. Gerakan selanjutnya adalah berputar, artinya adalah bahwa hidup itu akan terus berputar. Putar itu menjadi titik awal untuk melanjutkan kehidupan selanjutnya. Tari Nirbaya sendiri menggunakan properti kuda, kemoceng, dan kipas yang memiliki arti untuk menghalau yang jahat.
Bagi penari yang mumpuni, tentu saja sulit untuk menarikan Tari Nirbaya. Di mana penari biasa disiplin dengan gerakannya, di sini penari harus mengubah teknik menarinya. Penari tidak mengikuti irama untuk menggerakan tubuhnya. Selain menjadi tolak bala, Tari Nirbaya juga berfungsi untuk menghibur tamu undangan yang datang.
Mengikhlaskan Tubuh
“Mentransformasi tubuhnya menjadi sesuatu yang bisa disajikan,” ujar Agung Tri Yulianto.
Berawal dari tugas akhir yang mengangkat soal tari komedi, akhirnya Agung menjadi guru dan koreografer tari komedi. Dalam tugas akhirnya, Agung juga mengalami kesulitan mencari penari yang bisa mentransformasi tubuhnya. Tantangannya adalah mentransformasi tubuh penari dari yang bertubuh ideal menjadi lucu.
Agung percaya bahwa tari komedi yang berhasil adalah bagaimana penari bisa mentransformasikan tubuhnya, menjadi ke karakter/sifat yang akan diperankan. Penari harus bisa legowo untuk menjadi karakter yang baru. Karya Agung saat tugas akhir yaitu mengangkat profesi batur atau pegawai rumah tangga. Agung memaknai seorang batur tidak hanya menjadi penghibur atau sekadar membantu pekerjaan rumah saja. Namun, Agung memaknai seorang batur bisa memberikan saran ke pemilik rumah, menjadi seorang yang bijaksana.
Agung memikirkan detil setiap koreografinya. Ia sempat ingin menggunakan rambut palsu di ketiak penari. Jelas, ini akan mengundang gelak tawa penonton. Namun, ia berpikir lagi, apakah itu lucu atau jorok? Agung meyakini lucu itu tidak harus jorok.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: dokumentasi Taman Budaya Yogyakarta