Tentang Cinta dan Keluarga, Uraian Pemikiran Karol Józef Wojtyła

Leo Tolstoy, sastrawan besar Russia pernah mengatakan, “All happy families are alike; each unhappy family is unhappy in its own way.” Apa yang ingin dikatakan Tolstoy bahwa setiap keluarga yang bahagia pada umumnya memiliki banyak keserupaan; kehangatan hubungan, kebersamaan yang kuat, kesabaran, saling menerima, kesetiaan, dan kepedulian. Namun, keluarga yang tidak bahagia memiliki cara mereka masing-masing.

Setiap keluarga memiliki persoalan dan kompleksitas masalah yang berbeda-beda; ada keluarga yang menghadapi krisis finansial, ada juga keluarga dengan krisis relasi dan kepercayaan. Sangat sulit mengidentifikasi sebab umum ketidakbahagiaan keluarga. Data tentang keluarga yang tidak bahagia juga sangat sulit didapat karena karakter dari persoalan itu sendiri tidak dapat diukur secara kuantitatif. Satu-satunya data terukur hanya mengatakan seberapa besar tingkat perceraian.

Persoalan mengenai kebahagiaan keluarga ini kemudian menuntun pada persoalan lain yang tidak kalah mendasar, bagaimana cinta berpengaruh dalam relasi orang dan dalam keluarga itu sendiri? Umumnya, orang memahami cinta sebagai perasaan suka atau tertarik pada orang lain (lawan jenis). Ucapan “aku mencintaimu” atau “I love you” menjadi ungkapan yang kata orang, hanya ada waktu pacaran tapi makin hilang setelah dari pelaminan. Apa benar demikian? Berangkat dari ‘cinta’, orang kemudian bergerak pada hubungan yang lebih intens; pacaran, pertunangan, dan pernikahan. Keseluruhan proses ini selalu mengasumsikan cinta sebagai dasar hubungan. Namun, jika cinta menjadi dasar hubungan, mengapa masih ada relasi yang kandas atau berakhir? Apakah berhentinya relasi ini semata karena orang tidak lagi merasakan cinta?

Kata “cinta” biasanya identik dengan pengalaman romantis, orang yang disukai, atau kenangan indah masa lalu. Pemahaman ini tidak salah karena cinta paling mudah dipahami sebagai perasaan suka yang spontan. Hanya saja perlu diingat, ketika berbicara tentang cinta, ada dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yakni person dan cinta itu sendiri. Kata “person” mengacu pada sesuatu yang terbedakan dari benda-benda di sekitarnya. Benda adalah sesuatu yang tidak hanya kekurangan rasio, tetapi kehidupan itu sendiri. Sementara, “person” tidaklah sekadar homo erectus atau homo sapiens – reduksi manusia menjadi makhluk sejarah – melainkan “person.” Kata “person” ditemukan supaya menjauhkan manusia dari proses reduksi. Artinya, person mengatar pada pemahaman akan manusia sebagai makhluk yang memiliki kepenuhan dan kesempurnaan.

Hal utama yang membuat person penting dan bermakna adalah kenyataan bahwa dari rasionya ia memiliki kehidupan interior. Meskipun binatang dan tumbuhan seolah sama dengan manusia, yakni memilki kemampuan kognisi dan hasrat atau secara luas disebut daya hidup. Namun, hanya manusia yang memiliki kehidupan interior. Kehidupan interior adalah kehidupan spiritual, yakni dengan berfokus pada kebenaran dan kebaikan. Aspek ini memberi kemampuan pada manusia untuk memutuskan diri (self-determination) dan memiliki kehendak bebas (free will). Akibat dari kehendak bebas, manusia menjadi tuan atas dirinya sendiri (sui iuris).

Person dalam menjalani kehidupannya tidaklah sendirian. Dalam membangun hubungan dengan person yang lain, seseorang tidak dapat menempatkan person yang lain sebagai objek kegunaan. Artinya, person harus menjadi tujuan dari hubungan itu sendiri. Seorang person tidak dapat menjadi sarana untuk tujuan bagi person yang lain. prinsip utamanya adalah, setiap person memiliki kemampuan secara kodrati untuk menentukan tujuannya sendiri.

Untuk menjawab persoalan tentang posisi person dalam hubungan, konsep cinta muncul sebagai bentuk jawaban positif. Di sini love merupakan kebalikan dari fungsi kegunaan dalam relasi. Love menempatkan orang lain pada posisinya sebagai person dan dalam relasi antara person tersebut. Keduanya mengarah pada common good dan common end; “Cinta antara person tidak dapat dimungkinkan tanpa kebaikan bersama yang mengikat mereka.” Cinta sendiri tidak akan muncul secara otomatis dalam relasi antar person.

Cinta pada dasarnya adalah prinsip atau ide tempat orang harus menghidupinya supaya mereka dapat menempatkan orang secara setara. Artinya, cinta sendiri bukanlah perasaan sama seperti perasaan suka akan orang lain. Perasaan suka cenderung mudah berubah karena didasari pada hal-hal tertentu yang juga bersifat temporer seperti kecantikan dan ketampanan. Sebagai sebuah prinsip atau ide, cinta harus dihidupi terlepas dari perasaan yang menyertainya.

Finalitas objektif dari pernikahan secara fundamental adalah terciptanya cinta dan secara fundamental pula menyingkirkan kemungkinan memperlakukan person yang lain sebagai sarana bagi tujuan atau sebagai objek kegunaan. Keluarga merupakan perwujudan dari cinta dan karena cinta selalu mengandaikan adanya kebaikan dan tujuan bersama, keluarga selalu bergerak bersamaan dalam menghayati dan menghidupi cinta serta kebaikan itu sendiri.

Keluarga merupakan manifestasi dari cinta dan perkawinan yang menyatukan dua orang person berbeda. Cinta memberi landasan personalistik dalam perkawinan. Pertama, dengan menempatkan pasangan sebagai partner yang setara. Kedua, dengan mengarah pada kebaikan bersama. Hubungan ini kemudian bergerak menuju perkawinan sebagai kerangka tempat ikatan seksual direalisasikan. Dalam perkawinan, terdapat dua prinsip utama yang harus dipegang, yaitu monogami dan ketakterpisahan (indissolubility). Kedua prinsip ini pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari pandangan personalistik dalam perkawinan.

Charles Dicken, seorang sastrawan termasyur asal Inggris berkata, “Penderitaan selalu lebih kuat dibandingkan dengan semua pengajaran lain, dan telah mengajarkanku untuk memahami bagaimana hatimu di masa lalu. Aku sudah dibengkokkan dan patah, tetapi – aku harap – menjadi bentuk yang lebih baik.”  Pernikahan dan keluarga bukanlah barang yang otomatis muncul dan siap pakai, atau setidaknya demikian saja muncul, ketika orang mencintai pasangannya.

Sebagaimana yang telah diuraikan, cinta adalah prinsip dan perlu dihidupi. Sama halnya dengan pernikahan dan keluarga, keduanya perlu dihidupi dan diperjuangkan. Dalam prosesnya, setiap keluarga tanpa terkecuali, selalu memiliki masalahnya sendiri-sendiri entah kecil atau besar. Tidak jarang pula ada keluarga yang kemudian bubar akibat konflik dan ketidakpercayaan yang mendera person-person di dalamnya. Sebagai pengingat, lawan dari cinta (love) bukanlah kebencian (hate), tetapi ketidakpedulian (ignorance). Sebab itu, selama masa #Stayathome ini, kembalilah peduli pada keluarga Anda sendiri. Barangkali selama ini Anda sibuk bekerja atau asyik dengan dunia sendiri. Kini kesempatan terbuka besar untuk memperhatikan person-person yang menjadi bagian dari apa yang Anda sebut dan yakini sebagai keluarga.

 

Daftar Pustaka

Wojtyła. Karol, Love and Responsibility, Boston: Pauline Books & Media, 2013.

https://bookriot.com/2013/12/16/10-delightful-dickens-quotes/, diakses pada 8 April 2020, pk. 11.

 

Editor: Agustinus Rangga Respati

Foto: Karmita Yuliastari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts