Tidak Ada Nasi Kucing di Sussex: Kemapanan Berpikir, Refleksi, Perspektif, dan Stagnansi

Doa 2 (Bukit Rhema)/ dok. Roni Driyastoto

Kesadaran untuk “being aware and alive” adalah kesederhanan dari proses menuju ke kemapanan berpikir.

Kuwera No.14

Sebuah percakapan tak terduga membawa saya pada refleksi mendalam mengenai suatu kerangka berpikir, yang menurut saya, adalah hal yang membawa kesadaran baru. Di tengah kesibukan masing-masing dari teman-teman saya, kami sejenak menyempatkan diri untuk seolah membuka diri atas satu sama lain dan bercerita mengenai kalut amuk harian dan momen-momen jenaka.

Ada satu cerita yang membuat saya hingga saat ini, tidak dapat saya tenggelamkan, karena cerita itu tahu caranya untuk berenang. Smudjur, menceritakan permenungannya ketika ia tengah mengisi perut kosong di salah satu angkringan di daerah Mrican, Yogyakarta. Tentu saja ia tak sendiri, bersama dengan Mamen, salah satu teman kami yang hampir selalu gagal dalam urusan romansanya.

Angkringan

Singkat cerita, Pak Angkringan berusaha untuk membaur dan melempar gagasan yang mengundang dialog di antara mereka. Entah perihal realita kehidupan hari ini, sambat romansa yang rumit, hingga ke manifesto politik belakangan ini. Ada satu hal yang seolah menyentak momen itu, ketika Mamen (yang selalu melempar jawaban ke Smudjur agar terlibat aktif dalam dialog mereka) melempar kesempatan agar Smudjur menimpali mereka. Tentu saja, Smudjur menuturkan bahwa ia sedang kalut dengan pikirannya sendiri, sehingga ia tidak bisa hadir di momen itu untuk sekadar berbasa-basi dan segala urusan tata krama lainnya.

Entah apa yang sedang Smudjur pikirkan, ia tersentak dan kaget ketika harus menjawab pertanyaan ataupun gurauan singkat dari Pak Angkringan. Lalu, mereka berdua memutuskan kembali, Pak Angkringan keluar dari tenda angkringan, berjalan agak menjauh dari gerobaknya dan berkata. “Jangan melupakan kemapanan berpikir, Mas!” Smudjur yang tengah gusar dengan isi kepalanya, tercengang dan tergagu ketika mengucapkan jawaban, “Maturnuwun, Pak!”. Kemudian ia berpaling, berjalan kebingungan, dan semakin kacau saja isi di dalam pikirannya.

In Cointreau Veritas

Memang malam itu kami sedang sejenak menikmati akhir pekan bersama dengan sebotol Cointreau dari salah seorang teman kami, Bika. Sebagian besar dari kami memutuskan untuk pulang karena memang mereka memiliki keputusan dan kehidupannya masing-masing. Tersisa saya, Smudjur, Mamen, Genjik, dan Bima yang sedang dalam perjalanan dari tempat ia bekerja.

Smudjur dengan nada yang penuh gairah, menuturkan pengalamannya di atas. Mamen, seperti biasa sibuk dengan telepon genggamnya, dan Genjik yang selalu antusias untuk berinteraksi dengan siapapun. Sementara saya masih menjadi diri saya sendiri yang begitu adanya. Tak lama, Bima datang dan kami melanjutkan cerita kami.

Kemapanan berpikir menjadi topik malam itu. Satu per satu berusaha mengurai makna di balik apa yang disebut dengan kemapanan berpikir. Saya tidak bisa mengingat secara pasti dari setiap ungkapan mereka, namun saya hanya mengingat beberapa (yang menurut saya) itu sebuah adalah kesadaran baru.

Smudjur dengan mencoba menerka bahwa keterbukaan diri adalah salah satu proses dalam menuju ke kemapanan berpikir, dengan membuka diri berarti membuka peluang baru entah apapun itu hasilnya. Walaupun pada realitanya, saya memahami bahwa membuka diri berarti ada kemungkinan untuk terluka. Dalam artian bahwa terluka itu adalah hal-hal yang tak sejalan dengan ekspektasi kita terhadap sesuatu yang telah, sedang, dan akan kita lakukan.

Hidup adalah perihal bermilyaran kemungkinan, pilihan dan konsekuensi, dan yang pasti adalah ketidakpastian. Kemungkinan, bila saya mencoba meletakkan kaki saya ke sepatu Smudjur, saya sedikit mengerti bahwa ia sedang gusar dengan pilihan hidupnya yang seolah stagnan.

Apa yang dilakukan seolah telah membawa ke tapak garis akhir yang baru, namun nyatanya ia hanya baru saja melangkahkan kaki sejengkal saja. Memang, segala yang kita dengar dan lihat adalah perspektif, setidaknya setiap individu memiliki prinsip hidup yang terus ia bawa, jaga, dan hidupi. Berbeda bukan berarti lawan, sama halnya bukan tak setuju lantas beda kubu, dan tak sepaham lantas baku hantam.

Sebuah penggalan lirik lagu dari daftar putar kami di Kuwera No.14. Kami merenungkan proses dalam pilihan hidup masing-masing. Masih panjang jalannya, memang tidak ada yang tahu, proses dan berproses. Saya melihat ada sesuatu yang enggan mereka bagi ke satu sama lain, karena ketakutan akan menjadi beban di antara kami. Saya hanya bisa menebak enigma atau teka-teki yang ada di dalam kepala mereka.

Smudjur, sudah pasti dengan kelinglungan atas pilihannya dan ditambah fenomena kemapanan berpikir yang merisaukannya. Mamen dengan hantu-hantu masa lalu dan masa depan yang ia benamkan dalam kegilaannya akan apapun itu dan hanya ia yang tahu.

Genjik dengan elegi-elegi patah hatinya akan kehidupan namun ia kilap dengan senyum hangat dan gesture tubuh yang seolah menjadi rumah yang nyaman bagi semua orang di dekatnya. Bima dengan kalut pikiran dan antusias atas tantangan-tantangan kehidupannya yang tercermin dengan air mukanya yang seolah keras dan asing, namun tidak dapat ia sembunyikan sebuah kelembutan hatinya pada seekor kucing dimanapun ia menemukan kucing-kucing tak berumah.

Bukan berarti itu semua pembenaran akan segala sesuatu yang mereka pikirkan dan rasakan, saya hanya bisa menyaksikan kalut pikiran yang terjun bebas. Karena sampai kapanpun saya tidak bisa memahami apapun yang oranglain pikirkan dan rasakan, sederhananya adalah saya bukan mereka. Dan sementara saya masih belum mengerti apa itu kemapanan berpikir?

Kemapanan Berpikir: sebuah Refleksi, Perspektif, dan Stagnansi

Saya tidak memiliki latar belakang ekspertis yang memadai, ataupun pengetahuan yang mumpuni. Bukan berarti saya membenarkan pepatah dalam bahasa jawa, “gebyah uyah”, yang berarti menggeneralisir untuk memukul rata pembenaran atas semua cerita di atas.

Saya hanya ingin mengutarakan permenungan saya dan mengukapkan refleksi saya atas hal-hal yang saya temui dalam proses menuju ke kemapanan berpikir. Melalui keseharian saya dan melalui mata orang-orang yang saya temui, saya menyaksikan banyak kesaksian. Secara sederhana kemapanan berpikir ialah saya maknai sebagai suatu tingkatan kerangka berpikir yang tenang.

Seolah seperti menaiki perahu kecil di tengah danau yang luas. Memang, kelak akan terombang-ambing oleh amuk ombak, namun perahu tetap mengambang dengan sendirinya. Kemapan berpikir ialah proses panjang untuk sampai ke tahap ketenangan batin. Dalam menyikapi sesuatu yang berasal dari luar dan dalam dirinya. Perahu tetap memiliki kemungkinan untuk karam, namun seorang yang ada di dalamnya mampu untuk berenang (setidaknya).

Segala hal yang di luar kontrol diri adalah hal yang di luar kuasa diri sendiri, cara untuk bereaksi terhadap hal-hal itu akan sangat menentukan selanjutnya. Ketenangan batin membawa kepada kerangka berpikir yang jernih dan solutif.

Tak dapat disangkal bahwa saya pun kerap terjebak pada kerangka berpikir kemapanan jasmaniah, alias secara eksplisit merunut pada kemapanan finansial. Sejenak saya mengambil jeda dari antara orang-orang di kerumunan, saya menyadari bahwa tak ayal hal itu membawa saya pada kehancuran untuk menjadi manusia yang manusia.

Saya melupakan kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang kerap saya injak, tending, dan tak saya pedulikan, yang memang ada di sekitar saya. Saya tidak hadir dalam tubuh saya. Mimpi indah dan lamunan-lamunan akan kemapanan jasmaniah membuat saya buta akan kehadiran orang, momen, dan berkat yang ada di sekitar saya. Bukan berarti saya menyerahkan hidup kepada perasaan saya yang fluktuatif, tetapi secara sederhana membuka diri untuk dapat hadir dan menyadari bahwa saya bernafas.

Menerima segala kelemahan saya dan tetap untuk melangkah walau itu hanya sejengkal saja. Ada banyak cara untuk sampai ke kemapanan berpikir dan itu bukan suatu pencapaian yang akan berhenti di situ saja, namun itu adalah proses yang panjang entah sampai kapan. Keterbukaan diri adalah awal yang saya lakukan untuk menerima diri sendiri. Mengurangi emosi-emosi yang terkesan seperti menutup diri, seperti halnya penolakan dan sinis. Skeptis memang perlu untuk terus menggali seberapa besar kemauan untuk menjadi diri sendiri.

Ada banyak hal yang menurut saya salah kaprah adalah ketika menutup diri dengan tembok-tembok besar yang terlihat dari air muka setiap orang, apapun itu resitensinya saya mampu menangkap ekspresi-ekspresi kecil mereka yang dengan cepat mereka geser dengan yang lainnya.

Saya akui memang bahwa saya takut untuk terluka akan hal-hal yang tidak berjalan selajur dengan ekspektasi saya. Namun saya tidak takut akan penolakan. Justru berawal dari terluka saya mampu mengambil perspektif lain yang selama ini saya tolak.

Terkadang saya melihat hanya dari sudut kecil di kehidupan saya untuk memahami dunia, ternyata tidak saya hanyalah setitik debu di luas semesta yang tak terjangkau ini. Saya mengetahui bahwa saya tidak tahu apa-apa. Maka dari itulah saya tak berhenti untuk terus berproses dalam mencapai ke kemapanan berpikir.

Tak dapat disangsikan bahwa setiap dari diri, sangat membutuhkan kemapanan jasmaniah. Saya pun tak menolak hal itu ataupun malahan secara keras kepala menjadikan pembenaran bahwa kemapanan jasmaniah membutakan, tidak. Kemapanan adalah ketenangan, untuk dapat tenang perlu ada kontrol. Yaitu dengan kemapanan berpikir. Dua sisi koin yang melengkapi satu samalain.

Tidak Ada Nasi Kucing di Sussex

Mamen kemungkinan tidak akan mengajak Smudjur untuk mencari nasi kucing di Sussex, akan tetapi ia akan menjadi teman yang baik bagi siapa saja yang mau terbuka. Dengan contoh sederhana melemparkan jawaban, seolah menjadi hal yang tabu untuk melemparkannya.

Saya melihantya sebagai kepedulian atas satu sama lain untuk merangkul sesama. Genjik yang selalu antusias menanggapi setiap ungkapan yang keluar dan Bima yang hadir untuk memberikan telinganya. Dan pada akhirnya saya yang menuliskan ini semua dari perspektif saya berinteraksi dengan mereka. Smudjur, kamu tidak sendirian.

Kepada siapapun itu yang membaca ini, kamu tidak sendirian.

Sepertinya saya terlewat aneh memberi judul refleksi ini, memang nasi kucing di Sussex, ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Ada namun kecil kemungkinannya ditemukan. Begitulah dalam keseharian, terkadang untuk menyadari apa yang ada di sekitar kira adalah dengan membuka diri. Terlalu berpusing diri pada hal-hal yang ada di jauh sana, memang membutakan. Setidaknya memberi tiang pancang pada saat ini, hadir dan menyadari masa kini.

Kesadaran untuk “being aware and alive” adalah kesederhanan dari proses menuju ke kemapanan berpikir.

Tak perlu memindahkan gunung besar ketika sudah menemukan kemapanan berpikir, akan tetapi dengan cara untuk meyikapi segala hal yang ada di luar diri adalah lebih cocok untuk diri sendiri. Demi apapun itu kemapanan dan ketenangan yang lain akan melengkapi diri sendiri ketika telah mampu untuk menjadi hadir dan bernafas. Sebab segala kesenangan atau kenyamanan kita, ternyata hanya satu per tiga dari apa yang disebut dengan kebahagiaan.

Kebahagian adalah bagian dari ketenangan batin, dan itu tidak dicari namun sebermulanya telah ada dalam diri sendiri.

Mengakui diri bahwa takut untuk terluka dan membuka diri, adalah hal yang kerap saya lakukan. Bukan berarti saya lebih dari oranglain, tidak saya hanya menjadi diri sendiri untuk mencoba mengutarakan apa yang saya pikirkan dan mengungkapkan apa yang saya rasakan.

Saya tidak mau mengkhianati diri sendiri. Tidak perlu menuduh oranglain bermuka dua, karena pada dasarnya setiap dari orang mencoba memproyeksikan diri mereka sendiri kepada siapa lawan bicara mereka. Pada dasarnya saya pun bermuka dua terhadap diri sendiri, lantas mengapa bermuka dua itu adalah hal yang tabu bila ternyata dalam diri sendiri sering menipu diri? Untuk apa tuduhan itu? Untuk melindungi diri dari ketakutan akan penolakan? Untuk menghindari menjadi seorang yang terluka?

Saya hanya sering berbicara kepada diri sendiri dan semakin mengenali diri sendiri. Semoga saya segera mememukan nasi kucing di salah satu gerobak angkringan yang ada di sudut taman nasional South Down, di selasar pantai-pantai pasir putih kota Brighton, ataupun di depan Kastil Arundel. Dan segala hal-hal indah di Sussex melalui tutur canda Mamen dan Genjik.

Tidak perlu sejauh itu, saya hanya ingin ke angkringan di dekat Mrican saja. Sementara saya masih bertanya-tanya, apa itu “Kemapanan Berpikir”?

 

 

Editor : Tim Editor Sudutkantin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts