(Lagi-lagi) Seni, Bandung, dan Yogya?

Apakah identifikasi Bandung dan Yogya akan terus memperpanjang panggung dominasi dua wilayah tersebut di ranah seni?

Baru saja memasuki tahun 2024, kita diingatkan kembali dengan upaya untuk meninjau sesuatu dari perspektif yang lain. Tidak perlu susah-susah mencari, berbagai perspektif alternatif—yang berusaha menantang pemahaman yang sebelumnya berlaku dan diyakini secara luas—justru menghampiri. Mereka hadir secara keroyokan, bahu-membahu meruntuhkan bagasi pengetahuan yang telah ditumpuk secara koheren. Peristiwa ini bahkan dapat dianggap terjadi secara massif di skala global. 

Disadari maupun tidak, cara pandang tersebut turut melandasi keberadaan dua pameran yang baru-baru ini dilaksanakan di Bandung. Pameran Studi Bandung! dikurasikan oleh Arsita Pinandita di Sanggar Olah Seni dan OMNI: The Allegory of Distance yang dikurasikan oleh Karen Clahilda di Galeri Ruang Dini. Keduanya diikuti oleh seniman-seniman yang berbasis di Jogja maupun Bandung dan banyak mempersoalkan relasi antar dua kota tersebut dalam kacamata seni rupa.

Titik keberangkatan dua pameran ini tidak dapat dilepaskan dari kedudukan, relasi, dan riwayat yang panjang antara dua kota tersebut, termasuk dalam ranah seni dan budaya. Merupakan sebuah pengetahuan umum bahwa di dua kota ini terdapat institusi pendidikan seni budaya yang cukup dikenal pamornya. Bandung dan Yogya tampak mampu mempertahankan reputasi dan ekosistem seninya hingga kini. Spontan saja kedudukan kedua kota mungkin dirasa menarik bagi mata para seniman dan kurator muda yang masih cenghar. Bisa jadi, hal ini mempengaruhi keputusan penyematan konteks Bandung-Yogya pada rancangan kuratorial masing-masing pameran.

“Bandung-Yogya” dalam perspektif saya (sebagai eks-mahasiswa seni rupa yang berumur sebiji jagung) terkesan seperti dua wilayah yang senantiasa dibenturkan satu sama lain, terutama dalam kanon sejarah seni rupa. Bandung dan Yogya selalu digambarkan sebagai dua kutub, realisme vs abstraksi, kebaratan vs keindonesiaan, solidaritas vs individualisme, dan sebagainya. Anggapan ini direproduksi dari waktu ke waktu melalui kurikulum (contoh: rujukan rutin pada artikel Trisno Sumardjo, Bandung Mengabdi Laboratorium Barat) maupun slepetan dan guyonan sehari-hari dari dosen dan rekan-rekan.

Kedua pameran ini tampak mencoba untuk menjauhi dikotomi tersebut dalam kadarnya masing-masing. Salah satunya diperlihatkan melalui bagaimana pihak kurator dan seniman partisipan meninjau pameran ini sebagai sarana interaksi. Kegiatan ‘bermain’ menjadi nuansa yang melandasi penyelenggaraan kedua pameran. Kedua pameran memiliki skala yang cenderung kecil dan bersifat self-managed untuk sebagian besar proses pengusahaannya. 

Seklise peleburan batas geografis memang mungkin benar adanya. Pertukaran pendapat dan hubungan timbal balik dengan mudah dilaksanakan secara remote. Hal ini mencerminkan kegiatan perencanaan pameran yang lebih banyak dilaksanakan secara jarak jauh. Dilansir dari sampel sempit dua pameran Studi Bandung! dan OMNI: The Allegory of Distance, pernyataan pembuat karya sebagai Seniman Bandung dan Yogya lah yang secara konkret memberikan kesempatan bagi pengunjung untuk mempersepsikan perbedaan.

Suasana pembukaan Pameran Studi Bandung! (sumber: Ashqi Fajar)

Berdasarkan observasi, tendensi kekaryaan yang bersifat personal tampak lebih jelas dalam kedua pameran. Corak masing-masing seniman, ditampakkan melalui pendekatan medium maupun keseluruhan visual yang disajikan. Pameran Studi Bandung! menyajikan pendekatan medium yang lebih beragam ketimbang pameran OMNI: The Allegory of Distance.

Mulai dari Taufik Gustian dengan karya keramik bertajuk “Manifestasi”, Rosid dengan instalasi mix media bertajuk “Tangan Petani”, instalasi karya fotografi Susilo Nofriadi bertajuk “Somewhere, a record of time”, hingga instalasi buku catatan Akmal Insan yang bertajuk “Dari Bandung ke Bantul”.

Adapun karya-karya yang cenderung konvensional, Azizah Permata Qalbu dan Noormatin melalui karya lukisnya masing-masing menampakkan ciri visual yang erat dengan unsur tradisi. Angelique Chintya dalam karya “Merupa Angan” menghadirkan semburat cat yang acak namun samar-samar tampak teratur, meski presentasinya cenderung gabas dengan langsung menyematkan kertas pada dinding ruang pamer.

Presentasi Karya “Merupa Angan” oleh Angelique Chintya (sumber: Ashqi Fajar)

Kendati demikian, keberagaman medium yang tersaji dalam sebuah pameran tidak semerta-merta dapat dijadikan titik tolak dalam mengukur efisiensi sebuah pameran. Pameran OMNI: The Allegory of Distance, di sisi lain hanya menyajikan karya-karya yang keseluruhannya memiliki basis dwimatra meliputi karya grafis, lukis, hingga drawing. Keseragaman medium dwimatra dalam pameran ini dirasa mampu mengakomodir fokus pengamat ketika mengapresiasi karya. Melalui format penyajian karya yang tidak terlalu kontras namun cukup variatif, pengunjung dibawa untuk menyaksikan corak dan kecenderungan masing-masing seniman.

Presentasi karya “P I L G R I M—To The City of Unknown Memories” oleh Urubingwaru (sumber: Muhammad Helmi)

Di satu sisi, terdapat karya-karya yang cenderung figuratif. Karya grafis Fahmi Azis dan seri lukis Urubingwaru menuntut pengamat untuk menerka berbagai elemen visual yang dihadirkan dalam karya dwimatra mereka. Ada yang lugas disadur dari budaya populer serta mitologi, ada pula yang secara samar memberikan kesan familiar dalam benak pengamat.

Kesan samar juga dihadirkan oleh Abil dalam karya lukisnya yang disadur dari arsip fotografis. Ilham Karim melalui seri karya lukis “Cut Outs” menghadirkan sosok dirinya dengan pose aktif dan pasif bersama warna-warna yang mencuat dan cerah—tanpa upaya besar, karyanya dengan mudah menangkap perhatian pengunjung. 

Di lini yang lain, Wina Khoirunnisa dan Bagas Mahardika menyajikan karya non-figuratif. Wina menghadirkan abstraksi dari pengalamannya ketika menyaksikan perubahan benda melalui Karya Drawing “Menjadi Ada: Sederum” yang berdasarkan skala cukup kontras jika dibandingkan dengan karya lainnya. Sedangkan Bagas Mahardika hadir dengan karya lukis “In Harmonia Progressio” yang merupakan abstraksi dari kontemplasinya terhadap dinamika kesenian di Bandung dan Yogyakarta—dalam penggambaran idealnya, dinamika tersebut tampak tenang dan cerah saling berbaur dengan satu sama lain. 

Presentasi Karya ”spots” dan “five of my grandfather chairs” oleh R.Saarah (sumber: Muhammad Helmi)

Cukup berbeda, R. Saarah menghadirkan karya seri fotografi dan drawing dengan ukuran yang sangat kecil. Pendekatan karyanya yang banyak memanfaatkan bidang negatif dirasa segar dalam format pameran bersama ini. Lima buah kursi dengan ukuran yang sangat kecil digambar hampir menyerupai titik, hal ini menuntut pengamat untuk mendekat, menjauh, dan menyesuaikan jarak pengamatan ketika mengapresiasi karya. Salah satu yang khas dari Pameran OMNI:The Allegory of Distance juga meliputi penghadiran format safe to touch collections meski belum mencakup semua karya.

Mungkin tema utama kedua pameran ini tidak dapat dirujuk sebagai betul-betul unik. Namun apakah kebaruan kini masih menjadi persoalan utama yang amat penting? Tentu Anda boleh berpendapat bahwa penyematan tajuk “Bandung-Yogya” justru memanjangkan polemik yang tidak lagi relevan. Namun sejak awal, seni bukanlah sebuah bidang yang pada hakikatnya pragmatis.

Kita dapat melihat dua pameran dengan format yang tidak terlalu besar ini sebagai ruang eksperimen bagi para seniman dan kurator muda. Baik mengembangkan praktik, maupun mempertanyakan kembali apa yang mereka tekuni sebelumnya. Keduanya dapat dilihat sebagai ajang rekonsiliasi kecil-kecilan, untuk pelan-pelan mengkritisi status Bandung-Yogya kini. Status yang tidak lagi se-dikotomis apa yang disampaikan dalam sejarah seni rupa Indonesia. Perbedaan kecenderungan di kedua kota, patutnya diyakini hanya sebatas fenomena bukan paham yang wajib berkelanjutan.

Tidak ada salahnya, ketika para seniman dan kurator ini berunjuk bersama-sama dari impuls yang tidak serius-serius amat. Karena pada akhirnya, dari satu-dua pameran bersama skala kecil akan mampu bermuara pada keberlanjutan ekosistem seni rupa itu sendiri. Terutama kini, ketika kita semua dilanda oleh suasana yang tidak pasti dan diliputi perasaan harap-harap cemas oleh berbagai peristiwa dan perubahan yang melingkupi. 

Sebagai penutup dan pemantik, saya akan mengakhiri tulisan ini dengan sebuah pertanyaan. Apakah identifikasi Bandung dan Yogya akan terus memperpanjang panggung dominasi dua wilayah tersebut di ranah seni, atau memberikan jentik sorotan bagi aktivitas seni di luar dua poros tersebut?


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Muhammad Helmi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts