Tiga puisi pembangun memori masa itu; Simon yang Disebut Petrus: Menjala, Simon: Tentang Pengikut-Nya, dan Andreas: Tentang Pandangan Itu, ditulis Sixtus Angga Pratama Mahardika, seorang mahasiswa asal Yogyakarta yang sedang belajar ilmu bimbingan dan konseling, serta meluangkan waktu untuk terus menulis.
Simon yang Disebut Petrus: Menjala
Aku turun di tepian danau Galilea dan saat itulah pertama kali aku melihat Yesus, Guruku dan Tuhanku.
Saat itu aku dan saudaraku, Andreas, sedang melempar jala ke danau.
Aku sangat kecewa karena hasil jalaku sangat sedikit. Ya, memang kondisi gelombangnya besar dan tinggi.
Tiba-tiba Yesus datang mendekati kami.
Ia memanggil kami dan berkata, “Kalau kalian mau ikut dengan-Ku, Aku akan menunjukkan tempat yang banyak sekali ikan.”
Kupandang wajah-Nya. Jala itu jatuh dari tanganku karena panggilan itu seperti api yang berkobar di dalam diriku. Aku mengenali-Nya sekarang. Yesus, Guruku dan Tuhanku.
Andreas, saudaraku, kurang ajar terhadap Guruku dan Tuhanku, “Aku tahu. Saat cuaca berangin seperti ini, semua ikan tidak akan berada di permukaan dan jalaku tak tak sampai ke kedalaman itu.”
Wajah-Nya yang berseri memberi perhatian, “Ikutlah dengan-Ku. Kita akan ke pantai yang lebih luas. Aku akan menjadikan kalian sebagai penjala manusia dan jala kalian tak akan pernah kosong.”
Sejak saat itu, kami meninggalkan perahu dan jala dan segala peralatannya. Kemudian, mengikuti langkah-Nya ke mana Ia pergi.
Saat kami berjalan bersama, Ia berkata padaku, “Simon yang disebut Petrus, di atas batu karang ini akan Kudirikan jemaat-Ku dan kepadamu, akan kuberikan kunci kerajaan-Ku.”
Mengikuti Yesus bukanlah perjalanan yang mudah. Aku terpaksa harus terlihat gagah di hadapan-Nya. Andreas, ada di belakang kami. Dia pun terkagum-kagum dengan sosok ini.
“Tuhan, aku dan saudaraku akan mengikuti ke mana pun Engkau pergi. Aku dan saudaraku akan mengikuti langkah kaki-Mu. Namun Tuhan, jikalau Kau berkenan, kunjungilah rumah kami. Rumah tanpa langit-langit dan lantai kecil yang cukup untuk saling menyantap makan bersama. Hadirlah Tuhan, kami menantikan keberadaan-Mu.”
Dan dia menjawab, “Berbahagialah Simon yang disebut Petrus putra Yohanes, Aku akan menjadi tamumu malam ini.”
Hatiku sangat gembira. Anggur asam itu telah dirubah-Nya menjadi anggur yang berkualitas.
“Berbahagialah rumah ini beserta isinya!”
Istriku dan istri saudaraku berdiri dan menyembah-Nya dan mencium pinggir lengan jubah-Nya.
Di rumah ini, Ia berbicara tentang kelahiran kedua manusia dan tentang dibukakannya pintu kerajaan surga, pun Dia menceritakan tentang malaikat yang akan turun membawakan kabar kegembiraan yang baik bagi semua orang dan tentang malaikat yang turun ke singgasana yang menyimpan begitu banyak kerinduan manusia pada Tuhan.
Kemudian, Ia menatap mataku dalam, sangat dalam. Dalam tak terkira, seperti ada hal ditemukan di dalam diriku. Lalu Ia berkata, “Aku memilihmu dan saudaramu dan kau harus ikut dengan-Ku. Kau sudah bekerja dan kau membawa muatan yang berat. Sekarang, beristirahatlah. Ambilah kuk yang ada pada-Ku dan belajarlah tentang Aku karena di dalam hati-Ku ada damai sejahtera untuk semua orang dan dirimu. Jiwamu akan menemukan banyak dan semua itu akan berkumpul.”
Saat Ia berkata seperti itu, aku dan saudaraku bersujud di hadapan-Nya, “Guru, kami akan mengikuti-Mu ke mana pun Kau akan pergi dan jika beban kami seberat gunung Sinai pun kami akan tetap bersama-Mu dalam kelegaan dan jika kami terjatuh di jurang yang terdalam kami akan tahu bahwa kami jatuh ke jalan menuju surga dan kami akan merasa puas.”
Dan saudaraku, Andreas, juga berkata, “Guru, kami akan menjadi benang di antara mesin jahit-Mu. Buatlah kami menjadi jubah sederhana-Mu karena kami akan menjadi pakaian sederhana yang setia melekat pada Yang Maha Tinggi.”
“Pergilah tidur sebab malam sudah terlalu larut. Aku akan menunggu fajar merekah di bawah rindangnya anggur yang dihiasi bintang dan bulan. Aku sudah melempar jala-Ku dan Aku mendapatkan dua dan Aku sudah merasa puas. Tidurlah kalian, hari ini Aku merasa puas karena itu. Damai dan berkat Tuhan bersertamu. Selamat malam”
(Selasa, 21 Februari 2017)
Simon: Tentang Pengikut-Nya
Perjalanan ini sangat melelahkan. Kami sedang menuju ke Betsaida dan kami mendatangi rumah besar itu.
Tuhanku berkata kepada empunya rumah, “Mereka kelelahan, kakinya lecet, dan badannya bau. Kami sedang berjalan ke Betsaida. Sekarang kami memerlukan tempat istirahat. Lihatlah, udara hari ini sangat terasa dingin, bukan?”
Orang kaya itu menjawab, “Mereka tidak boleh menapakkan kakinya di rumahku!”
Dan Yesus berkata, “Jika begitu, biarkan rumput itu menjadi alas tidurnya malam ini. Udara sangat dingin, bukan? Mereka perlu meletakkan lututnya sebelum harus melanjutkan perjalananya esok hari.”
Orang kaya itu menjawab, “Tamanku tidak boleh ditiduri orang asing!”
Yesus mendekati kami dan berkata, “Hari ini adalah hari esokmu kalian. Dan saat ini adalah seperti masa yang akan datang. Semua pintu tidak akan menerima kehadiranmu, bahkan taman itu tidak bisa kau jadikan alat tidurmu. Jika kaki lecetmu dan bau badanmu masih benar-benar tahan dengan jejak langkah-Ku, kalian akan menemukan tempat untuk meletakkan lututmu, mengobati kakimu yang lecet, dan mencuci tubuhmu yang bau itu. Namun, jika kau tak temukan tempat itu berarti kalian sedang berjalan di dalam gurun pasir-Ku. Mari teruskan berjalan.”
Kupandang wajah-Nya. Ada hal yang Ia pendam. Ada hal mengganjal yang nampak dalam wajah-Nya. Ia menggumam sendiri dan ia memasuki pada taman doa-Nya.
Dan kami mengikuti-Nya. Mengikuti jejak langkah Guruku dan Tuhanku.
(Rabu, 22 Februari 2017)
Andreas: Tentang Pandangan Itu
Petrus menjadi murid kesayangan Guruku dan Tuhanku. Ke mana Ia pergi, di situ Petrus ada.
Saat kami berhenti untuk beristirahat, Guruku dan Tuhanku menceritakan tentang perumpamaan tentang anak yang boros dan perumpamaan tentang anak yang menjual semua barangnya untuk membeli mutiara.
Guruku dan Tuhanku mendengar ada keramaian di pasar. Dibawanya perempuan yang dituduhkan berlaku sundal oleh orang Farisi. Guruku dan Tuhanku sangat sabar. Hatinya sangat luas, seluas padang pasir.
Pandang-Nya pada perempuan itu membuatku teringat pada pandangan-Nya pada saat aku bertemu pertama kali di Galiea. Dalam dan hangat.
Lalu Ia meminta orang Farisi yang membawa perempuan ini. Ia memandanginya, dalam dan hangat sama dengan Ia memandangi perempuan sundal itu dan memandangku dulu. Entah, tiba-tiba Ia menunduk dan menulis di tanah. Namun, saat menulis, semua orang itu pergi satu demi satu. Dan tinggal perempuan itu seorang.
Ia meminta perempuan itu berdiri dan kamipun ikut berdiri.
Pandangan-Nya pada perempuan itu sangat dalam. Pandangan-Nya selalu mengingatkanku pada pertemuan pertamaku di Galilea.
“Cintamu itu sangat besar. Mereka yang membawamu kemari memiliki sangat kecil cinta. Sekarang, pergilah dengan damai! Tak ada seorang dari mereka bisa menghakimimu lagi karena Anak Manusia tidak akan menghakimimu.”
Aku tak paham dengan perkataan itu. Apakah selama ini Ia terlepas dari dosa? Hingga Ia berkata pada perempuan berdosa itu.
Tapi aku tahu, hanya hati yang bersih yang mengampuni rasa dahaga pada oase, hanya kaki yang lengkap yang bisa menuntun orang pincang, pahitnya hidup tidak akan sepahit tanpa kehadiran diri-Nya.
(Kamis, 23 Februari 2017)
Foto: Jan Brueghel (I) – Apostoles Peter and Andrew (Hermitage)