Pandora: Kumpulan Puisi Tsaqifah Zeiliana Ardifta

Pandora. (dok. Sudut Kantin/Adi Atmayuda)

Kumpulan Puisi ini berjudul “Pandora”, menceritakan tentang seseorang yang menyesal pernah menyakiti dan masih menanti kekasihnya buat kembali — yang entah kapan itu pun belum pasti. Selain Pandora, juga ada dua puisi lain yaitu Ber(ter)iak dan Lentera Putih.

PANDORA

13 September 2022

Beberapa malam ini aku menggigil kedinginan,
Seisi kota diguyur hujan dan kesedihan
Purwokerto akan benar-benar merindukan pertemuan antara kita.

Kini aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan,
Aku masih saja merindukanmu dari balik awan.

Jangan ragu untuk menoleh ke arahku,
Ketika kau lihat awan mendung berjalan mengikutimu.
Karena sesungguhnya aku tengah merasakan cemburu,
Saat dagu lancipnya bersandar pada pundak kokoh itu
Dan dekap tangannya sanggup mendebarkan jantungmu.
Seharusnya itu adalah aku,
Apakah bagimu kini Surabaya masih seromantis dulu?

Maaf, aku telah menancapkan banyak duri
Mawar ini tak tahu harus bagaimana lagi dalam melindungi diri
Dan seandainya aku masih bisa meraba sela-sela jemarimu
Menikmati senyumanmu di setiap malam ketika ku rasakan rindu

Aku selalu menunggumu menyiarkan berita kepulangan,
Apa aku masih boleh memiliki sedikit harapan?

Sayangku,
Raga ini akan selalu siap untuk menyambutmu di tepian Sungai Serayu
Ia tertunduk dan menggantung, mengenakan gaun hitam pemberian darimu
Berayunke kanan dan ke kiri, sembari menghitung hari
Menanti kapan kiranya kereta itu akan membawamu kembali

 

BER(TER)IAK

14 Juni 2022

Malam ini aku terdiam di lantai empat hunian tinggalku sementara,
Kehidupan dewasa sudah di depan mata.

Dari tempat jemuran baju ini
aku ingin berteriak sekencang-kencangnya
“Bapak, Ibu, anakmu hilang pegangan. Aku tak tahu ke mana aku harus pulang”
sambil menangis dalam dekapan malam;
memandangi gedung-gedug nakal menyangga langit,
Lalu lalang kendaraan yang beradu suara,
Dan berjuta wajah-wajah kehilangan gairah.

Aku sudah berada di sini, di tempat ini.
Beberapa dari mereka mempertanyakan asaku
“Apakah redup atau benar-benar sudah menghitam?”
Kawan, aku sudah tenggelam

Ku biarkan air mengalir menyusuri setiap liku kehidupan
Biarlah mereka mengikuti takdirnya untuk beriak ataupun berombak
Atau mungkin diam namun begitu dalam untuk menuju dasarannya

Aku hanya sedikit basah
Belum bergetar hebat

Aku masih mampu bertahan sampai sebentar lagi
Mungkin dua atau tiga kali hisapan lagi
Sampai bara terakhir berjalan mengakhiri pembicaraan kita.

 

LENTERA PUTIH

13 Mei 2022

Adalah ia, yang sesekali rasa lelah untuk terus hidup
nyala bara dalam dirinya ia biarkan untuk meredup
pancaran mata indah yang dahulu gemilang
semakin hari nampak kian menghilang

Ialah si pencandu gelisah
keranjingan, blingsatan mencari celah
— yang mungkin terlampau sempit untuk dijamah.
nuraninya dicabik-cabik habis tak bersisa
dihasut waktu yang menggerogoti pendaran cahayanya

Ialah rumah bagi pecundang yang enggan menantang hujan
yang dadanya selalu sesak walau hanya terisi banyak kekosongan
yang dijadi sundal dan tidak pernah mau tahu yang dikandungnya adalah milik siapa
yang menampung seluruh duka dalam kubangan amarah dan balutan luka

Adalah ia, sinaran putih terang yang menjelma jadi temaram
yang tergoda belaian mesra jemari lentik gulita malam
yang tetap lirih berbinar walau nyalanya dipaksa mati
yang selalu menanti kapan saatnya ia akan terganti

 

Editor : Tim Editor Sudutkantin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts