Seumpama Kita; Kumpulan Puisi Oktavius Ekapranata

Tiga puisi ini; Menumbuk Kisah, Memo Rerumputan, dan Seumpama Kita, ditulis Oktavius Ekapranata, seorang penyair muda dari Kalimantan.


Menumbuk Kisah

Keningmu lesung kayu panjang yang senantiasa mengundang para petani menumbuk padi. Dadamu menahan hunjam lekuk siku berselang-seling menghempaskan sekam dalam desakan alu para piatu. Kupandang kau melipat tangan, kau telah kenyang bayang-bayang malang. Orang-orang tersayang terhentilah, terhentilah dalam sembahyang. Orang-orang tersayang pergilah ke pangkuan moyang, di mana kita menghampar tikar dalam peradaban agung.

Luka hanyalah liku di kening, dengan darah! Dengan darah yang tercurah hanyalah sumpah para penyirih yang mencurah. Lihatlah, para penganyam membawa bilah bambu, tindih-menindih, silang-menyilang di amparan ladang meringkih. Mereka duduk menyenderkan punggung dalam amparan tikar menanak nasi di tungku batu, di sana nisan orang-orang terkikis waktu.

Kisah ini kutawarkan di telingamu.

Kisah ini kutawarkan di matamu.

Kisah para penjarah, lumut para pengkhotbah,

Yang tak tertulis oleh cendekiawan-cendekiawan latah!

 

Nanga Tebidah, 17 Agustus 2020

 

Memo Rerumputan

Di antara rerumputan terkapar itu

Ada setetes embun merela leburkan keutuhannya.

“Hidup ini tergores di setiap hari-hari,

terlukis di dalam kening dan mencuat menjadi luka,

mengiris masa laluku mengeliat menjadi duka,”

ucap rerumputan membendung tangis.

 

Di antara rerumputan terkapar itu

Ada setetes embun merela leburkan keutuhannya.

“Hidup ini mengerogoti hari-hari yang tersusun rapi pada diari.

Tak ingin tahu mimpi-mimpi masa mudaku

Hanyalah fiksi yang tak teranalisis dan usang.”

 

Rerumputan kini tampak pucat seiring waktu.

“Hanyalah iris yang paling bengis. Hanya sisa tangis yang paling mengiris, tersenyumlah di mata air mataku.” Tangis rerumputan luruh mengaliri lika-liku hari yang angkuh.

 

Nanga Tebidah, 15 Oktober 2020

 

Seumpama Kita

Seumpama kita buku, kau adalah lembar pertama

Yang aku awali setiap kali membaca

Hanya kalimat-kalimat yang memisahkan

Pada lembar terakhir, kita adalah sebuah kesimpulan.

 

Seumpama kita pohon, kau adalah rantingnya

Dan aku daun yang tumbuh pada rantingmu

Yang senantiasa gugur pada waktunya

Lalu tumbuh kembali sebagai tunas muda.

 

Seumpama kita jam, kau adalah menit pertama

Dan aku adalah detik terakhir mencapaimu.

 

Seumpama kita jarak dan waktu terpisahkan

Pada kening, kita selalu berdekatan.

 

Yogyakarta, 25 Februari 2017

 

Editor: Agustinus Rangga Respati

Foto: Andi Eli Budiman Logo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Treasure Comeback, Teume Gempar

Next Article

Sirkus Barock Berdialog Mengenang WS Rendra

Related Posts